Selasa, 18 November 2014

Penerapan Dan Pelanggaran Hukum Di Indonesia

Menurut Aristoteles, manusia merupakan zoon politicon (makhluk sosial). Hal ini tidak dapat dipungkiri dari kenyataan yang ada, dimana manusia selalu berinteraksi antara yang satu dan yang lainnya. Di samping sebagai makhluk sosial manusia juga merupakan makhluk tuhan yang dianugerahi nafsu atau kehendak yang mendorong manusia untuk bertindak. Nafsu inilah yang dapat menjadi sebuah bencana apabila tidak dikendalikan. Oleh karena itu ada benarnya apa yang dikatakan oleh Hobbes “hommo homini lupus bellum contra omnes” yang artinya bahwa manusia ibarat Serigala yang ganas dan saling memangsa satu dan yang lainnya.
Untuk mengatur tata kehidupan manusia yang dapat berpotensi menjadi kacau dan tak beraturan itu, maka dibutuhkan suatu instrumen yang disebut hukum. Dengan hukum ini manusia dipaksa untuk menghormati hak-hak orang lain serta mempunyai kewajiban untuk mewujudkan kondisi masyarakat yang aman dan tertib (rust end orde), selain itu hukum juga diharapkan dapat mengakomodasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa yang akan datang melalui pembentukan instrumen hukum baik berupa peraturan perundang-undangan maupun kelembagaannya. Di dalam aliran pragmatic legal realism yang dipelopori oleh Roscou Pond hukum dianggap sebagai a tools social of engeneering (alat rekayasa sosial). Oleh karena itu suatu keniscayaan kiranya di dalam masyarakat ada hukum (ubi societes ibi ius).
Namun sungguh ironis di negara Indonesia yang katanya negara demokrasi ini, “Keadilan Hukum Masih Bisa Dibeli”. Pelanggaran norma hukum, asusila, agama pun banyak, akibat kurangnya kesadaran dan kurangnya rasa nasionalisme. Maka “Mari” kawan pemuda kita ubah negara ini menjadi negara yang kuat dengan cara menumbuhkan rasa nasionalisme yang tinggi sesuai dengan perjuangan pahlawan terdahulu. Kalau bukan kita siapa lagi? : )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar