Menurut Aristoteles, manusia merupakan zoon politicon
(makhluk sosial). Hal ini tidak dapat dipungkiri dari kenyataan yang ada,
dimana manusia selalu berinteraksi antara yang satu dan yang lainnya. Di
samping sebagai makhluk sosial manusia juga merupakan makhluk tuhan yang
dianugerahi nafsu atau kehendak yang mendorong manusia untuk bertindak. Nafsu
inilah yang dapat menjadi sebuah bencana apabila tidak dikendalikan. Oleh karena
itu ada benarnya apa yang dikatakan oleh Hobbes “hommo homini lupus bellum
contra omnes” yang artinya bahwa manusia ibarat Serigala yang ganas dan saling
memangsa satu dan yang lainnya.
Untuk mengatur tata kehidupan manusia yang dapat berpotensi
menjadi kacau dan tak beraturan itu, maka dibutuhkan suatu instrumen yang
disebut hukum. Dengan hukum ini manusia dipaksa untuk menghormati hak-hak orang
lain serta mempunyai kewajiban untuk mewujudkan kondisi masyarakat yang aman
dan tertib (rust end orde), selain itu hukum juga diharapkan dapat
mengakomodasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa yang akan datang
melalui pembentukan instrumen hukum baik berupa peraturan perundang-undangan
maupun kelembagaannya. Di dalam aliran pragmatic legal realism yang dipelopori
oleh Roscou Pond hukum dianggap sebagai a tools social of engeneering (alat
rekayasa sosial). Oleh karena itu suatu keniscayaan kiranya di dalam masyarakat
ada hukum (ubi societes ibi ius).
Namun sungguh ironis di negara Indonesia yang katanya negara
demokrasi ini, “Keadilan Hukum Masih Bisa Dibeli”. Pelanggaran norma hukum,
asusila, agama pun banyak, akibat kurangnya kesadaran dan kurangnya rasa
nasionalisme. Maka “Mari” kawan pemuda kita ubah negara ini menjadi negara yang
kuat dengan cara menumbuhkan rasa nasionalisme yang tinggi sesuai dengan
perjuangan pahlawan terdahulu. Kalau bukan kita siapa lagi? : )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar